BERBAHASA SESUAI DENGAN
RANAH PEMAKAIANNYA
Opini Pertama : Satu bahasa bisa
digunakan berbagai macam ragam bahasa.
Ini adalah suatu contoh pada bahasa
Indonesia. Dalam Bahasa Indonesia mempunyai banyak ragam (varian) yang dipakai
sesuai konteksnya. Misalnya untuk acara kenegaraan atau keperluan akademis kita
menggunakan bahasa Indonesia baku. Sementara untuk keperluan sehari-hari,
bahasa Indonesia yang kita pakai bersifat tidak baku (informal) dan seringkali
dipengaruhi oleh bahasa daerah masing-masing. Kedua ragam tersebut dipakai
secara bersamaan dan beriringan dalam kehidupan dan mempunyai fungsi
masing-masing. Adapun jika ragam informal dari bahasa Indonesia pada akhirnya
berkembang, itu adalah hasil kreasi penutur bahasa yang hakikatnya memang penuh
inovasi. Nah, maka dari pada itu lahirlah bahasa gaul, yang kesemuanya adalah
ragam informalnya bahasa Indonesia. Karena dalam ranah bahasa baku untuk
akademis dan kenegaraan penuturnya tidak bisa berkreasi (karena dibatasi
aturan-aturan dan kebakuan), maka sangat wajar jika dalam ranah informal,
penutur bahasa berkreasi, dan tidak terkecuali dalam bahasa Indonesia. Bahasa
Inggris pun demikian adanya. Meskipun bahasa Inggris merupakan bahasa yang
lebih mapan, bahasa Inggris juga mempunyai ragam informalnya, dan bahkan ragam
informalnya lebih dari satu dan sangat dipengaruhi unsur kedaerahan. Situasi
kebahasaan yang memungkinkan suatu masyarakat dalam suatu wilayah yang
menggunakan beberapa ragam bahasa dalam kehidupannya dinamakan diglosia dan
sangat lazim terjadi.
Opini Kedua : Dampak Globalisasi
terhadap Sikap Bahasa
Globalisasi sudah
menjadi fenomena semesta; globalisasi, suka atau tidak suka, juga mengubah
sikap bahasa penutur Indonesia terhadap BI, terutama di kota-kota besar di
Indonesia, khususnya terhadap BI resmi, penggunaan BI resmi, termasuk bahasa
nasional, dianggap kurang bergengsi (kurang prestise), kurang nyaman (comfort),
kurang canggih, bahkan dirasakan kurang aksi/kurang bergaya (prestige motive).
Sikap ini juga terjadi pada media-media elektronik kita, dengan dalih era
globalisasi, mata-mata acara ditayangkan dengan bahasa Inggris, malahan
presenternya pun menggunakan bahasa gado-gado.
Demikian pula halnya
sikap bahasa terhadap bahasa daerah, bahasa daerah kita cenderung telah tergusur
karena penggunaan bahasa daerah dianggap kampungan. Sikap
seperti itu tidak boleh terjadi; ini amat berbahaya karena penggusuran terhadap
bahasa daerah akan berakibat terhadap tergusurnya kebudayaan daerah; hilangnya
bahasa daerah berarti hilangnya kebudayaan daerah. Itu akan menimbulkan
kekosongan/ kehampaan kebudayaan (cultural void), ini akan mencengkeram
masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, bahasa adalah jaringan sentral
kebudayaan, di samping sebagai salah satu produk kebudayaan itu sendiri.
Penggantian budaya yang sudah mapan dan berakar oleh budaya lain yang baru dan
asing bisa menjadi fatal; ini akan menjadi krisis identitas yang amat serius.
Konon masyarakat yang kehilangan budayanya akan dihinggapi penyakit kehilangan
kepercayaan diri; masyarakat itu akan selalu bergantung kepada orang lain, akan
mencari tuntunan orang lain di dalam membuat putusan-putusan.
Setakat ini sikap
bahasa yang lain adalah kecenderungn memberi gengsi tinggi terhadap BI ragam
rendah/ragam bahasa gaul, termasuk suka mencampur-campur unsur bahasa asing,
khususnya bahasa Inggris, di samping suka beralih-alih ke bahasa tersebut,
padahal konteks dan situasi komunikasi tidak menuntutnya. Dengan kata lain,
terdapat tumpang-tindih ranah penggunan bahasa. Ranah yang menuntut penggunaan
bahasa resmi disulih dengan bahasa ragam rendah/bahasa gaul; konteks dan
situasi interaksi resmi disulih dengan bahasa campur-campur atau dengan
konstruksi wacana yang penuh dengan interferensi dari nonbahasa Indonesia
resmi.
Secara kasat
mata, globalisasi juga menurunkan derajat kebakuan ragam
bahasa resmi: BI resmi mendapat gangguan dari bahasa asing, terutama bahasa
utama dunia, seperti bahasa Inggris; gangguan ini cenderung tampak pada
tingginya gejala interferensi (baik secara gramatikal maupun leksikal) dan
gejala campur-campur bahasa BI-BA/Inggris, termasuk pemanfaatan alternasi
(beralih/alih bahasa) yang sebenarnya tidak diperlukan/tidak dituntut dalam
situasi komunikasi yang sedang berlangsung. Yang lebih memprihatinkan adalah
bahwa globalisasi mengimplikasikan kecenderungan mengendurnya semangat
nasional pada generasi muda bangsa kita, terutama di kota-kota
besar.
SUMBER:
http://intanyeon.blogspot.com/2013/06/berbahasa-sesuai-dengan-ranah.html