Rabu, 03 Juli 2013

BERBAHASA SESUAI RANAH PEMAKAIANNYA



BERBAHASA SESUAI DENGAN RANAH PEMAKAIANNYA
Opini Pertama : Satu bahasa bisa digunakan berbagai macam ragam bahasa.
Ini adalah suatu contoh pada bahasa Indonesia. Dalam Bahasa Indonesia mempunyai banyak ragam (varian) yang dipakai sesuai konteksnya. Misalnya untuk acara kenegaraan atau keperluan akademis kita menggunakan bahasa Indonesia baku. Sementara untuk keperluan sehari-hari, bahasa Indonesia yang kita pakai bersifat tidak baku (informal) dan seringkali dipengaruhi oleh bahasa daerah masing-masing. Kedua ragam tersebut dipakai secara bersamaan dan beriringan dalam kehidupan dan mempunyai fungsi masing-masing. Adapun jika ragam informal dari bahasa Indonesia pada akhirnya berkembang, itu adalah hasil kreasi penutur bahasa yang hakikatnya memang penuh inovasi. Nah, maka dari pada itu lahirlah bahasa gaul, yang kesemuanya adalah ragam informalnya bahasa Indonesia. Karena dalam ranah bahasa baku untuk akademis dan kenegaraan penuturnya tidak bisa berkreasi (karena dibatasi aturan-aturan dan kebakuan), maka sangat wajar jika dalam ranah informal, penutur bahasa berkreasi, dan tidak terkecuali dalam bahasa Indonesia. Bahasa Inggris pun demikian adanya. Meskipun bahasa Inggris merupakan bahasa yang lebih mapan, bahasa Inggris juga mempunyai ragam informalnya, dan bahkan ragam informalnya lebih dari satu dan sangat dipengaruhi unsur kedaerahan. Situasi kebahasaan yang memungkinkan suatu masyarakat dalam suatu wilayah yang menggunakan beberapa ragam bahasa dalam kehidupannya dinamakan diglosia dan sangat lazim terjadi.

Opini Kedua : Dampak Globalisasi terhadap Sikap Bahasa
Globalisasi sudah menjadi fenomena semesta; globalisasi, suka atau tidak suka, juga mengubah sikap bahasa penutur Indonesia terhadap BI, terutama di kota-kota besar di Indonesia, khususnya terhadap BI resmi, penggunaan BI resmi, termasuk bahasa nasional, dianggap kurang bergengsi (kurang prestise), kurang nyaman (comfort), kurang canggih, bahkan dirasakan kurang aksi/kurang bergaya (prestige motive). Sikap ini juga terjadi pada media-media elektronik kita, dengan dalih era globalisasi, mata-mata acara ditayangkan dengan bahasa Inggris, malahan presenternya pun menggunakan bahasa gado-gado.

Demikian pula halnya sikap bahasa terhadap bahasa daerah, bahasa daerah kita cenderung telah tergusur karena penggunaan bahasa daerah dianggap kampungan. Sikap seperti itu tidak boleh terjadi; ini amat berbahaya karena penggusuran terhadap bahasa daerah akan berakibat terhadap tergusurnya kebudayaan daerah; hilangnya bahasa daerah berarti hilangnya kebudayaan daerah. Itu akan menimbulkan kekosongan/ kehampaan kebudayaan (cultural void), ini akan mencengkeram masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, bahasa adalah jaringan sentral kebudayaan, di samping sebagai salah satu produk kebudayaan itu sendiri. Penggantian budaya yang sudah mapan dan berakar oleh budaya lain yang baru dan asing bisa menjadi fatal; ini akan menjadi krisis identitas yang amat serius. Konon masyarakat yang kehilangan budayanya akan dihinggapi penyakit kehilangan kepercayaan diri; masyarakat itu akan selalu bergantung kepada orang lain, akan mencari tuntunan orang lain di dalam membuat putusan-putusan.
Setakat ini sikap bahasa yang lain adalah kecenderungn memberi gengsi tinggi terhadap BI ragam rendah/ragam bahasa gaul, termasuk suka mencampur-campur unsur bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, di samping suka beralih-alih ke bahasa tersebut, padahal konteks dan situasi komunikasi tidak menuntutnya. Dengan kata lain, terdapat tumpang-tindih ranah penggunan bahasa. Ranah yang menuntut penggunaan bahasa resmi disulih dengan bahasa ragam rendah/bahasa gaul; konteks dan situasi interaksi resmi disulih dengan bahasa campur-campur atau dengan konstruksi wacana yang penuh dengan interferensi dari nonbahasa Indonesia resmi.

Secara kasat mata, globalisasi juga menurunkan derajat kebakuan ragam bahasa resmi: BI resmi mendapat gangguan dari bahasa asing, terutama bahasa utama dunia, seperti bahasa Inggris; gangguan ini cenderung tampak pada tingginya gejala interferensi (baik secara gramatikal maupun leksikal) dan gejala campur-campur bahasa BI-BA/Inggris, termasuk pemanfaatan alternasi (beralih/alih bahasa) yang sebenarnya tidak diperlukan/tidak dituntut dalam situasi komunikasi yang sedang berlangsung. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa globalisasi mengimplikasikan kecenderungan mengendurnya semangat nasional pada generasi muda bangsa kita, terutama di kota-kota besar. 

SUMBER:
http://intanyeon.blogspot.com/2013/06/berbahasa-sesuai-dengan-ranah.html